BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam negara-negara modern, interaksi mendasar antar lembaga negara termasuk fungsi legislasi diatur oleh konstitusi. Pola pengaturan fungsi legislasi ditentukan oleh pola hubungan antara eksekutif, legislative, dan hubungan itu sangat ditentukan oleh corak sistem pemerintahan.[1]
Pola hubungan antara eksekutif dan legislatif yang terpusat pada pembentukan undang-undang mengalami perubahan secara signifikan. Perubahan tersebut diketahui dengan adanya perubahan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dari Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Akibat dari adanya pergeseran fungsi pembentukan undang-undang tersebut, berakibat pada hilangnya dominasi Presiden dalam pembentukan ndang-undang. Perubahan Pasal 5 juga diikuti oleh perubahan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945.[2]
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang menjadi monopoli DPR. Mencermati pergeseran dalam pola pembentukan undang-undang, sadar akan keberpihakan Undang-Undang Dasar 1945, sebagian besar kekuatan politik di DPR menjadikan fungsi pembentukan undang-undang sebagai sarana untuk melanggengkan kepentingan politik.
Kecenderungan tersebut dapat diamati dalam proses pembentukan undang-undang. Fungsi pembentukan undang-undang yang melekat pada DPR sering digunakan untuk memproduksi undang-undang yang mengukuhkan supremasi DPR dan bukan dilandasi kebutuhan rasional sehingga DPR menjelma menjadi lembaga super body.
Berdasarkan paparan diatas, Undang-Undang Dasar 1945 menjadikan tugas dan kewenangan lembaga legislatif sangat dominan. Selain dalam proses legislasi, kewenangan DPR sebagai penentu dalam memberi keputusan “persetujuan” terhadap agenda kenegaraan. Hal tersebut akan rentan menimbulkan konflik antara eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif.
Berdasarkan landasan konstitusional yang amat kuat, DPR sering kali tidak memedulikan hubungan dengan eksekutif, misalnya dalam memaknai Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Implementasinya, DPR cenderung memaksakan keinginan kepada pemerintah untuk tercapai persetujuan bersama. Padahal, Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara tegas, jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan tersebut tidak boleh lagi diajukan dalam persidangan DPR tahun itu.[3]
Membandingkan peran atau bentuk keterlibatan presiden dalam proses legislasi, diketahui bahwa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ada 4 (empat) bentuk keikutsertaan presiden dalam pembentukan undang-undang, yaitu rancangan; pembahasan di DPR; menolak (tidak) mengesahkan rancangan undang-undang yang sudah disetujui DPR; serta pemuatan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara.[4]
Masalah antara legislatif tidak hanya terjadi pada saat pembahasan dan persetujuan bersama, meski telah mendapat persetujuan bersama.antara DPR dan Presiden . ada sejumlah rancangan undang-undang yang tidak disahkan oleh presiden. Misalnya, ketika pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, beberapa undang-undang diberlakukan dan mengikat umum tanpa pengesahan presiden, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau; (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.[5]
Berbeda dengan pendapat yang dipaparkan diatas, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 praktik pembahasan bersama dan persetujuan bersama yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 memperkuat posisi Presiden dalam fungsi pembentukan undang-undang. Pergeseran fungsi tersebut terjadi karena wewenang presiden dalam pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang sama kuatnya dengan wewenang DPR. Hal tersebut dikarenakan, hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945 membagi ultimate authority fungsi legislasi kepada DPR dan Presiden.
Berpijak dari uraian diatas, maka perlu dikaji mengenai “ KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis dapat menguraikan rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa latar belakang perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945?
2. Bagaimana implikasi perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang?
C. Ruang Lingkup Permasalahan
Ruang lingkup dalam penelitian meliputi peran presiden dalam pembentukan undang-undang, fungsi pembentukan undnag-undang, dan proses pembentukan undang-undang antara presiden dan DPR sebagai lembaga leguslatif. Penelitian tersebut juga mengkaji perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 merupakan suatu bentuk legitimasi dalam pembentukan undang-undang atau sebagai bentuk check and balance.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui peran presiden dalam pembentukan undang-undang, fungsi dan proses pembentukan undang-undang.
2. Untuk mengetahui landasan dengan perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 merupakan bentuk menguatnya legitimasi DPR dalam pembentukan undang-undang atau menciptakan check and balance.
E. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian adalah:
1. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam memahami mekanisme pembentukan undang-undang yang berasal dari presiden dalam sistem pemerintahan setelah amandemen undang-undang dasar 1945.
2. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis dalam penelitian adalah:
a. Untuk memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai mekanisme pembentukan undang-undang yang berasal dari presiden dalam sistem pemerintahan di Indonesia setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 serta implikasinya.
b. Bahan informasi atau bahan bacaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam memahamai kewenangan presiden mengusulkan rancangan undang-undang dalam sistem pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
c. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
[1] Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta , hal. 2.
[2] Sebelum perubahan Pasal 20 Undang-Undang : (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR, dan (2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
[3] Yuliandri, 2010, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik , Rajawali Pers, Jakarta , hal. 85.
[4] Saldi Isra, Ibid, hal, 5.
[5] Saldi Isra, Ibid, hal. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar