I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan catatan ketatanegaraan kontemporer di barat paradigma mengenai negara hukum sangat mengemuka. Gagasan ini berawal dari pemikiran ahli hukum yang berasal dari Yunani yaitu Plato. Plato memikirkan bentuk terbaik sebuah negara. Menurut Plato penyelenggaraan negara yang baik adalah apabila negara berada di tangan para ahli filsafat. Namun Plato merubah pandangannya dan berfikir bahwa negara akan dapat diselenggarakan dengan baik apabila berdasarkan sebuah perangkat aturan hukum yang dikenal dengan nomoi.
Pendapat Plato tersebut melahirkan inspirasi bagi para ahli negarawan sehingga melahirkan konsep negara hukum. Negara hukum pada dasarnya bukan semata pemikiran dalam era negara modern. Jika Plato melahirkan buku nomoi, berbeda halnya dengan Aristoteles dengan pendapatnya yang etrdapat dalam buku la politica. Dewasa ini negara hukum identik dengan dua istilah yakni rechstaat dan rule of law. Kedua istilah ini pada dasarnya merupakan bentuk perwujudan negara hukum.
Apabila kita pahami lebih jauh konsep hukum yang berlaku di Indonesia ini sedikit melenceng dari hakikat kita sebagai bangsa timur bahkan ‘slogan’ itu sendiri kemudian berbenturan dengan nilai musyawarah mufakat yang telah lama diagung-agungkan di negara ini. Hukum yang akan digunakan sebagai pengawas itu ternyata hanya rangkaian huruf yang diletakan dalam pasal demi pasal, bahkan payahnya lagi dengan penggunaan sistem continental pembelajaran hukum di negara ini seakan akan hanya untuk menghafal pasal demi pasal yang berada dalam suatu peraturan perundangan. Memang menjadi suatu hal yang sangat menyangsikan ketika kita menjunjung konsep negara hukum ini tinggi-tinggi akan tetapi Indonesia hanya rule of law saja bukan rule of just law.
Di Eropa, pada abad pertengahan kekuasaan raja merupakan kedaulatan tertinggi dan sangat mendominasi, sebagai akibat dari hal itu muncul pemikir-pemikir yang mengkritisi kekuasaan raja (absolut) tersebut. Kritisme itu kemudian menimbulkan doktrin untuk melawan dan menggulingkan kekuasaan absolut. Pada masa itu muncul istilah negara hukum.
Negara hukum adalah negara yang segala kegiatan untuk menyelenggarakan pemerintahannya didasarkan atas hukum yang berlaku di negara tersebut. Rakyat dan pemerintah tunduk dan patuh pada hukum. Dengan kata lain, hukumlah yang tertinggi dan bukan Pemerintah. Pemerintah hanyalah petugas yang menerapkan apa-apa yang sudah menjadi ketentutan/hukumnya. Fungsi Rule of Law dimaksudkan agar terdapat jaminan rasa keadilan (justice) di dalam masyarakat.
1. Adanya supremasi hukum (bahwa hukumlah yang harus didahulukan dan bukan pemimpin atau pun pejabat). Jadi hal ini lebih kepada prioritas penegakan hukum.
2. Adanya legalitas hukum (bahwa seseorang mendapat perlindungan hukum). Poin 2 ini lebih kepada perlindungan seseorang.
3. Adanya jaminan hak asasi manusia
Di negara-negara hukum, peraturan perundang-undangan harus merujuk kepada undang-undang dasar (konstitusi). Dengan begitu, negara tersebut dapat disebut juga sebagai negara konstitusional karena negara tersebut mempunyai segala peraturannya dengan berdasarkan kepada hukum dasar (konstitusi). Terminologi yang sering merangkai term negara dikenal dalam berbagi istilah seperti; polis (tata kota), politea, nomoi (Plato). Thomas Aquinas merangkai implementasi peran, fungsi dan tujuan sebuah Negara tersegmentasi dalam konsep civitas dei (negara tuhan) dan civitas terrana (negara iblis) ataukah negara polisis yang dipengaruhi oleh tipe negara Merkantilisme.
Dalam peletakkan peran negara sebagai anak/ orang tua dari hukum. Pada awalnya kelihatan dalam negara polisis ataupun negara gagasan Thomas Aquinas, yang mengabsolutkan tindakan dan peran raja dalam suatu kekuasaan pemerintahan. Setidaknya konsep negara tersebut telah menjadi peletak batu pertama dalam mengilhami negara untuk dikendalikan oleh hukum (control by law).
Aristoteles menyebutnya, pencapaian keadilan dengan memakai instrument hukum. Negara yang sedikit demi sedikit, mengurangi keabsolutan tindakan/ monopolinya dalam mengendalikan yang dikuasai dikenal sebagai negara jaga malam (nachtwacker staat). Pada negara hukum liberal atau jaga malam ini yang dicetuskan oleh Stahl memiliki unsur-unsur diantaranya:
- Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (protection to the human right).
- Negara didasarkan pada pemisahan kekuasaan (trias politica).
- Pemerintah diselenggarakan berdasarkan atas Undang-undang (wetmatig bestuur).
- Adanya peradilan administrasi yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid). Dalam perkembangannya, pemerintahan yang berdasarkan Undang-undang dianggap lamban. Oleh karena itu diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan atas hukum (rechtmatig bestuur), kemudian melahirkan konsep yang merupakan varian dari rechstaat seperti welvaarstaat dan verzorgingstaat sebagai negara kemakmuran.
Ciri dari pada negara hukum formil adalah didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik. Ini merupakan corak pemikiran yang dominan menonjol pada pemikiran negara hukum konsep Eropa Kontinental.
Beda halnya, dengan negara Anglo-saxon seperti Inggris menyebut negara hukum dalam terminologi rule of lawatau pemerintahan oleh hukum. Dicey mengutarakan tiga unsur dari rule of law yaitu:
- Supremasi hukum (supremacy of the law).
- Kedudukan yang sama di depan hukum (equal before the law).
- Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan (the constitution based on individual right).
Menurut Kusnardi dan Saragih mengemukakan bahwa paham Dicey ini sebagai kelanjutan dari ajaran Locke yang berpendapat bahwa manusia sejak dilahirkan mempunyai hak asasi dan tidak seluruh hak-hak asasi diserahkan kepada negara dalam kontrak sosial.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka rumusan masalah yang diambil oleh penulis adalah:
1. Apakah Indonesia berdasarkan rechstaat?
2. Bagaimana ciri-ciri negara hukum (rechstaat)?
II. PEMBAHASAN
A. Indonesia Negara Hukum (Rechstaat)
Istilah negara hukum dipergunakan para ahli hukum Eropa Konstinental seperti Immanuel Kant dan Friedricht Julius Sthal adalah Rechsstaat, sedangkan ahli hukum Anglo saxon seperti Albert Venn Dicey memakai istilah Rule of Law. Paham rechsstaat bertumpu pada sistem hukum eropa konsitinental yaitu, suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.
Negara hukum yang berkembang pada abad ke-19 disebut negara hukum dalam arti sempit atau negara hukum formal karena negara hanya bertindak terbatas pada hukum tertulis. Paham negara dalam arti sempit ini berkembang sebagai akibat adanya paham liberal yang berpandangan bahwa antara negara dan pemerintahannya tidak ada kaitan mutlak artinya tidak perlu saling ikut campur (terpisah). Negara tidak ikut campur dalam urusan pribadi warga negaranya terutama di bidang ekonomi, negara dapat campur tangan dalam hal-hal kepentingan umum saja seperti bencana alam, hubungan luar negeri, pertahanan negara dan sejenisnya. Pada masa itu kegiatan ekononi dikuasi oleh dalil Laissez Faire yang berarti semua warga negara bebas mengurus kepentingan ekonomi masing-masing tanpa harus terikat dengan aturan negara.
Dalam negara hukum formal, bisa dikatakan negara dianggap hanya sebagai penjaga malam saja maksudnya, negara baru bertindak bila terjadi pelanggaran dan keamanan negara terancam. Karena hal itu negara terkesan berfungsi pasif.
Paham negara hukum formal lambat laun mendapat kecaman dari berbagai kalangan karena paham ini menyebabkan kesenjangan ekonomi yang sangat signifikan hingga pada abad ke-20 muncul gagasan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, negara berperan aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya. Gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah negara hukum dalam arti luas atau negara hukum material (negara kesejahteraan). Dalam negara hukum material fungsi negara naik pangkat, negara bukan sebagai penjaga malam tetapi, negara berfungsi sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat (social service state). Penjelasan Umum UUD 1945 tentang bentuk Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
Paham negara hukum formal lambat laun mendapat kecaman dari berbagai kalangan karena paham ini menyebabkan kesenjangan ekonomi yang sangat signifikan hingga pada abad ke-20 muncul gagasan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, negara berperan aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya. Gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah negara hukum dalam arti luas atau negara hukum material (negara kesejahteraan). Dalam negara hukum material fungsi negara naik pangkat, negara bukan sebagai penjaga malam tetapi, negara berfungsi sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat (social service state). Penjelasan Umum UUD 1945 tentang bentuk Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutis (kekuasaan yang tidak terbatas).
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa ibu pertiwi yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat), serta pemerintahannya dijalankan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar) dan bukan berdasarkan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Pasal 24 Ayat 1: Kekuasaan yang ada merupakan kekuasaan yang merdeka untuk peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 27 Ayat 1: Segala warga Negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Namun demikian dapat saja terjadi di suatu negara di mana pelaksanaan kenegaraan keseharian berdasarkan hukum tetapi hukum yang dibuat adalah hukum yang dipakai untuk menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Achmad Ali, supremasi hukum adalah berkaitan dengan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Pada tahun 1959, Friedman membedakan 2 kategori rule of law , apa sajakah itu? Dan apa maksudnya? Kategori formal dan material. Maksudnya adalah bahwa[1]:
1. Rule of law itu tidaklah hanya memiliki sistem pengadilan yang sempurna di atas kertas (rule of law yang bersifat formal, ingat forma yang artinya adalah bentuk!), akan tetapi ditentukan oleh kenyataan bahwa rakyat benar-benar dapat menikmati perlakuan yang adil, baik dari sesama warga negara maupun dari pemerintahannya (material, ingat materi adalah isi). Rule of law identik dengan keadilan.
2. Di negara hukum, hukum tidak hanya sekedar "formalitas" atau "prosedural" belaka dari kekuasaan karena nantinya hukum dijadikan alat pembenaran dari tindakan yang sebenarnya hendak menyimpangkan kekuasaan. Misalnya : Pembuatan Keputusan Presiden yang samar-samar (jadi banyak tafsir karena kalimatnya tidak menegaskan maksudnya sehingga makin tidak jelas apa yang dituju) dapat dijadikan sebagai tempat berlindung Presiden. Dengan dalih telah berdasarkan hukum, Presiden lalu melakukan sesuatu yang sebenarnya telah menyimpang.
B. Ciri-Ciri Negara Hukum (Rechstaat)
Konsep negara hukum mensyaratkan adanya demokrasi, begitu pula demokrasi mensyaratkan adanya negara hukum dalam pelaksaksanaannya. Negara Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan diri secara jelas sebagai negara hukum. Dalam pasal 1 ayat (2) juga dinyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD hal ini berarti pelaksanaan kehidupan bernegara didasarkan atas hukum. Adapun ciri-ciri negara hukum menurut Julius Stahl adalah:
1. Hukum berkuasa penuh terhadap Negara dan rakyat.
2. Negara tidak dapat disalahkan, yang berhak disalahkan adalah pejabat Negara,
3. Hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh supreme of court atau mahkamah agung.
Hubungan antara negara hukum dengan demokrasi; negara demokrasi pada dasamya adalah negara hukum. Namun negara hukum belum tentu negara demokrasi, sebab, seperti dikatakan di atas, negara dapat saja mengatakan bahwa ia menjunjung tinggi hukum, tetapi hukum yang dibuat adalah hukum yang dapat menyelewengkan kekuasaan, dan hal ini menyebabkan tidak adanya demokrasi. Oleh karenanya, negara hukum belum tentu negara demokrasi, tetapi negara hukum hanyalah satu ciri dari negara demokrasi.
Terdapat 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara jika negara tersebut dapat dikatakan negara demokratis, yaitu :
1. negara yang menegakkan hukum,
2. pemerintah di bawah kontrol masyarakat,
3. pemilu yang bebas,
4. prinsip mayoritas,
5. adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis; jaminan HAM dan minoritas diperhatikan.
Setelah masa panjang kesewenang-wenangan Pemerintahan diktator, di abad ke-19 muncul adanya ide mengenai perlunya pembatasan kekuasaan. Pembatasan ini dimaksudkan agar terwujud suatu negara yang demokratis. Oleh karenanya, para ahli hukum Eropa Barat kontinental seperti : Immanuel Kant dan F. Julius Stahl merumuskan suatu landasan yuridis mengenai pembatasan kekuasaan. Landasan yuridis inilah yang menjadi dasar dari pelaksanaan kepemerintahan nantinya agar demokratis. Jadi, suatu negara dikatakan demokratis apabila bersandar kepada landasan yuridis ini. Oleh karena itu, negara yang melaksanakan hal ini adalah negara "demokrasi konstitusional".
Julius Stahl menerapkan semangat “demokrasi konstitusional” ini dengan memperkenalkan istilah Rechtsstaat atau Rule of Law (Negara Hukum), kemudian memberikan ciri-ciri negara hukum (rechstaat). Adapun ciri-ciri tersebut yakni adanya:
1. Penegakan Hak Asasi Manusia ;
2. Pemisahan/pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM yang biasa dikenal sebagai trias politica ;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
4. Terbentuknya peradilan administrasi dalam perselisihan.
Berdasarkan hukum Anglo Saxon seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law yang diterjemahkan sebagai “Negara Hukum”. Pada abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20, negara hukum macam ini disebut sebagai Negara Hukum Formal atau Negara Hukum Klasik. Terdapat ciri-ciri Negara Hukum Formal atau Negara Hukum Klasik, yaitu[2]:
1. Supremacy of the law, yaitu hukum memiliki kedudukan yang paling tinggi.
2. Pemerintah selaku penguasa dilarang bertindak sewenang-wenang.
3. Setiap individu tanpa kecuali, baik sebagai rakyat maupun sebagai penguasa, harus tunduk kepada hukum dan apabila melanggar hukum harus dihukum.
4. Negara bersifat pasif. Sistem pemerintahan formil ini berkembang pada abad ke-19 dan pemerintah dalam hal ini hanya sebagai wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan rakyat yang dirumuskan para wakilnya di parlemen. Di sini peranan negara lebih kecil daripada peranan rakyat karena pemerintah hanya menjadi pelaksana (tunduk kepada) keinginan-keinginan rakyat yang diperjuangkan secara liberal untuk menjadi keputusan parlemen.
5. negara tidak campur tangan terhadap urusan dan kepentingan warga negara. Urusan ekonomi diserahkan pada warga dengan dalil laissez faire, laissez aller yang berarti bahwa bila warga dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya sendiri, maka perekonomian negara akan sehat (machtstaat) dengan sendirinya.
6. Negara hanya mengatur hal-hal menyangkut kepentingan umum seperti bencana alam, hubungan luar negeri dan pertahanan negara. Aliran ini disebut liberalisme yang dirumuskan dalam dalil The least government is the best government (pemerintahan yang paling sedikit mengatur adalah pemerintahan yang baik).
7. Negara dalam pandangan ini hanya dianggap sebagai “Negara Penjaga Malam” (Nachtwachterstaat).
Konsep Negara Hukum Formal atau Negara Hukum Klasik yaitu Negara dianggap lambat dan tidak bertanggung jawab atas segala dampak ekonomi yang muncul akibat perang tsb. Muncul gagasan baru yang disebut sbg welfare state (Negara Kesejahteraan). Sebagai konsep hukum, negara ini disebut Negara Hukum Materiil atau negara hukum dalam arti luas, sebagai tandingan dari konsep Negara Hukum Formal atau Klasik. Dalam negara hukum materiil atau dapat disebut negara hukum modern, pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan umum di berbagai lapangan kehidupan.
Perbedaan yang menonjol antara rechstaat dan rule of law ialah pada konsep peradilan administrasi negara, merupakan suatu sarana yang penting dan sekaligus ciri yang menonjol pada rechstaat itu sendiri. Latar belakang dari perbedaan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Kusnardi dan Saragih karena Inggris dikenal adanya rezim administrasi yang baik, merupakan garansi bahwa penyelewengan bisa dicegah atau kalau ada sekecil mungkin. Jika terdapat rezim administrsi yang baik, pelanggaran terhadap hak asasi berkurang dan kalau ada perselisihan/ pelanggaran maka peradilan biasa akan mengadilnya.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan oleh Miriam Budiardjo dalam International Commission Of Jurist. suatu organisasi ahli hukum interasional dalam konfrensinya di Bangkok Tahun 1965 lebih memperluas konsep rule of law dan menekankan apa yang disebut The Dinamict Aspect Of The Rule Of Law In The Modern Age. Dinyatakan bahwa syarat-syarat terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law ialah[3]:
- Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain dari menjamin hak-hak individu, harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
- Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
- Pemilihan umum yang bebas.
- Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
- Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi.
- Pendidikan kewarganegaraan.
Negara hukum adalah produk dari perjalanan sejarah yang panjang (historische bepaal). Baik Aristoteles, Stahl, Dicey serta sarjana-sarjana lainnya, tidak mempunyai pengertian yang sama. Masing-masing mengartikan sesuai dengan zamannya yang berbeda, dan negara hukum adalah alat (tool) untuk mencapai tujuan negara. Negara hukum adalah negara dimana tindakan pememerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang (willekeur) dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya sendiri[4].
Negara hukum pada masa yang lalu mengikat penguasa untuk tidak boleh bertindak sebelum peraturan ada, secara tertulis. Sedangkan pada abad modern ini negara hukum semakin memberikan keseimbangan antara pemerintah, dalam arti setiap lembaga negara sebagai pelaksana Undang-undang berada dalam sarana dan muatan kontrol (check and balance) untuk bertindak berdasarkan hukum. Lebih tepatnya adalah semua tindakan pemerintah harus didasarkan atas undang-undang.
Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan.
Negara-negara di zaman sekarang mengakui negaranya sebagai negara hukum, yaitu diselenggarakan dengan menggunakan aturan-aturan tertentu sesuai dengan ideologi dan budaya negara tersebut. Hukum ada karena adanya masyarakat dan masyarakat membutuhkan hukum untuk mengarahkan serta mengatur kehidupan masyarakat menuju kearah yang positif.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa ibu pertiwi yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat), serta pemerintahannya dijalankan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar) dan bukan berdasarkan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
2. Indonesia digolongkan atau dikatakan negara hukum (rechstaat) karena terdapat ciri-ciri negara hukum, yaitu:
b. Hukum berkuasa penuh terhadap Negara dan rakyat.
c. Negara tidak dapat disalahkan, yang berhak disalahkan adalah pejabat Negara.
d. Hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh supreme of court atau mahkamah agung.
B. Saran
Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat), artinya negara yang berdasarkan pada hukum bukan kekuasaan belaka (machstaat). Maka dari itu, perlu ditingkatkannya penegakan hukum dalam semua lini baik itu dalam kekuasaan kehakiman, kejaksaan, dan juga kepolisian. Apabila semua penegakan hukum sudah menerapkan prinsip keadilan dan memandang semua orang dihadapan hukum sama maka implementasi dari orientasi negara hukum (rechstaat) telah tercapai. Pembenahan dalam peraturan perundang-undangan juga perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
CF Strong, 1965, Modern Political Constitutions: Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentu), Nusa Media, Jakarta.
Budiardjo.miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi Cetakan Kedua.Jakarta.2008.
Srijanti, A. Rahman HI & Purwanto SK, Etika Berwarga Negara : Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2007.
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani : Pendidikan Kewargaan, Prenada Media, Jakarta, 2009
Winarno, SPd, Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan, Bumi Aksara, Jakarta, 2008
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
C. Internet
[1] CF Strong, 1965, Modern Political Constitutions: Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentu), Nusa Media, Jakarta.
[2] Srijanti, A. Rahman HI & Purwanto SK, Etika Berwarga Negara : Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar