Senin, 05 November 2012

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Sumber Kewenangan

Sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu kedaulatan rakyat, maka rakyat dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan negara. Perspektif kedaulatan rakyat (the sovereignty of the people), semua kekuasaan dalam konteks kenegaraan berasal dan bersumber dari rakyat, meskipun fungsi-fungsi kekuasaan negara dibedakan dalam 3 (tiga) cabang yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Mengatur atau menentukan aturan dan menetapkan hukum negara yang akan mengikat dan membebani rakyat, haruslah didasarkan atas persetujuan rakyat itu sendiri. Negara atau pemerintah tidak berhak mengatur warga negaranya kecuali atas dasar kewenangan yang secara eksplisit diberikan oleh rakyat sendiri melalui perantaan wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga parlemen.[1]

Kewenangan atau wewenang sendiri berasal dari suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Apabila dicermati terdapat perbedaan antara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”. Kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Berbeda dengan “wewenang” hanya mengenai suatu “onderdeel” tertentu saja dari kewenangan.

Kewenangan pembentukan undang-undang merupakan fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan suatu negara, oleh karena secara nyata kedaulatan yang diakui dalam negara tersebut dapat dilaksanakan. Menurut Philipus M. Hadjon jabatan memperoleh  wewenang melalui 3 (tiga) sumber yakni atribusi, delegasi, dan mandat. [2]

Atribusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan Hukum Tata Negara atribusi ditunjukkan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang ditunjuk oleh pembuat undang-undang.  Kewenangan atribusi tersebut mununjukkan pada kewenangan asli atas dasar konstitusi. Kewenangan atribusi hanya dimiliki oleh DPR, Presiden, dan DPD dalam hal pembentukan undang-undang.

Hasil produk dari ketiga lembaga negara tersebut adalah undang-undang, oleh karena materi yang diatur dalam undang-undang hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat umum saja, maka diperlukan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (subordinate legislation) sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang bersangkutan.  Pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai teknis atau pelaksana dari undang-undang disebut dengan pemberian kewenangan delegasi. Proses pendelegasian kewenangan regulasi atau legislasi inilah yang disebut sebagai pendelegasian kewenangan legislatif atau “legislative delegation of rule making power”.[3]

Pengaturan pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) alternatif syarat, yaitu:[4]
1.            Adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
2.            Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang diselegasikan; atau
3.            Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari undang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi.

Ketiga syarat tersebut bersifat pilihan dan salah satunya harus ada dalam pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule-making power). 

Berbeda halnya dengan kewenangan delegasi maupun atribusi. Kewenangan mandat merupakan pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas tanggungjawab sendiri.[5] Apabila kewenangan yang dilimpahkan atau didelegasikan tersebut merupakan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan (the power of rule-making atau rlaw-making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan tersebut tersebut akan mengakibatkan terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk undang-undang sebagaimana mestinya.

Selain  atribusi dan delegasi, mandat meupakan salah satu sumber kewenangan. Mandat merupakan kewenangan yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada orang lain untuk atas nama atau tanggung jawabnya sendiri mengambil keputusan.[6]

1.      Kewenangan Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945

Mengenai wewenang dan kekuasaan Presiden, menurut Inu Kencana Syafiie, wewenang dan kekuasaan Presiden dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu selaku kepala negara dan selaku kepala pemerintahan. Tugas dan tanggungjawab sebagai kepala negara meliputi hal-hal yang seremonial dan protokoler kenegaraan, jadi mirip dengan kewenangan para kaisar atau raja/ratu, tetapi tidak berkenaan dengan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan.[7]

Diantara kewenangan-kewenangan atau “presidential power”, ada kewenangan yang sesungguhnya berasal dari kekuasaan non-eksekutif, yaitu kewenangan-kewenangan yang bersifat legislatif dan yang bersifat yudisial. Kewenangan tersebut seperti menetapkan peraturan pelaksanan undang-undang (subordinate legislations), dan kewenangan untuk memberikan grasi,[8] amnesti,[9] abolisi,[10] dan rehabilitasi,[11] pada dasarnya bukanlah kewenangan yang murni bersifat eksekutif, melainkan bersifat legislatf dan yudisial.[12]

Wewenang dan kekuasaan Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: (1) kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif; (2) kekuasaan presiden dalam bidang legislatif; dan (3) kekuasaan presiden sebagai kepala negara.[13] masing-masing bidang kekuasaan tertuang dalam pasal-pasal.

Wewenang dan kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif tertuang dalam Pasal 4 ayat (1)[14] dan Pasal 5 ayat (2)[15] Undang-Undang Dasar 1945. Wewenang  dan kekuasaan presiden dalam bidang non-eksekutif, yaitu legislatif terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20  ayat ayat (2), (3), (4), dan (5) dan kekuasaan presiden dalam hal kepala negara mempunyai tugas-tugas pokok yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 10 sampai Pasal 16 secara berturut-turut mengatur kewenangan presiden dalam berbagai bidang.[16]

Praktiknya, kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang oleh kepala negara dan/atau kepala pemerintahan selalu ditambahkan adanya kekuasaan untuk menngatur, baik karena delegasi wewenang yang mengalir dari kewenangan lembaga legislatif berdasarkan Undang-Undang Dasar.[17]

2.      Hak Veto Presiden Dalam Pembentukan Undang-Undang

Di Indonesia sendiri tidak dikenal istilah veto presiden dalam pembentukan undang-undang. Hal tersebut diketahui dari adanya frasa “persetujuan bersama”. Dalam frasa tersebut secara implisit tersirat bahwa pembentukan undang-undang merupakan hasil dari persetujuan bersama antara presiden dan DPR, apabila presiden tidak menyetujui rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR maka pada sidang pembahasan presiden dapat menolak rancangan undang-undang tersebut begitu pun sebaliknya.

Dalam pelaksanaannya, apabila presiden dan DPR telah mendapat persetujuan bersama terhadap suatu rancangan undang-undang, maka presiden harus mengesahkan rancangan undang-undang tersebut. Presiden diberikan waktu selama 30 ( tiga puluh)  hari untuk menngesahkan rancangan undang-undang tersebut, apabila tidak disahkan oleh presiden karena sesuatu hal maka presiden tidak dapat mengajukan veto untuk menolak rancangan undnag-undang tersebut dan rancangan undang-undang tersebut sah dengan sendirinya.

Sama halnya dengan di negara Amerika Serikat, kata “veto” pun tidak ditemukan dalam konstitusi Amerika Serikat. Istilah “ legislative veto” maupun “ presidential veto” muncul karena adanya frasa “ before it become a law, be presented to the president of the united states; if the approve he shall sign it, but if not he shall return it”.[18] Peluang presiden menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR dan Senat tersebut disebut dengan “veto” atau “regular veto[19]

Berdasarkan pendapat Robert Neal Webner, “regular veto” merupakan cara paling umum yang digunakan Presiden Amerika Serikat untuk mengajukan keberatan atas rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Senat.[20] Hal tersebut, dikarenakan presiden tidak terlibat dalam pembentukan rancangan undang-undang sehingga presiden dapat menggunakan “regular veto” dan “pocket veto” untuk mengajukan keberatan terhadap suatu rancangan undang-undang.

Indonesia dan Amerika Serikat memang tidak secara eksplisit menyebutkan kata veto dalam konstitusi Negara masing-masing, akan tetapi semua konstitusi memberi hak kepada presiden (eksekutif) untuk menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh lembaga legislatif. Urgensi dari pengaturan untuk menolak rancangan undang-undang ditingkat konstitusi untuk membangun mekanisme checks and balances antara presiden dan kekuasaan eksekutif dari kemungkinan dominasi yang dilakukan lembaga legislatif.

B.     Pembentukan Undang-Undang

Berdasarkan teori yang dikemukakan Jhon Austin yang merumuskan, hukum sebagai perintah penguasa yang berdaulat[21] Hal tersebut menjelaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berada ditangan pemerintah yang kemudian diamanatkan kepada lembaga legislatif dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Bagir Manan, ada lima hal yang mendasari pembentukan undang-undang yaitu:[22]
1.            Perintah UUD 1945;
2.            Perwujudan Kedaulatan Rakyat;
3.            Memperbaharui undang-undang yang sudah terbentuk atau bagian dari undang-undang yang ada;
4.            Perintah undang-undang yang sudah terbentuk (lebih dulu ada);
5.            Suatu perjanjian Internasional.

1.      Teori  Pembentukan Undang-Undang

Munculnya beberapa permasalahan dalam proses pembentukan undang-undang, maka melahirkan pemikiran tentang pembentukan undng-undang yang efektif. Beberapa teori tentang pembentukan undang-undang ( theories of lawmaking), diantaranya ialah dikemukakan oleh Jan Michiel Otto dan kawan-kawan.[23] Otto mengarahkan teori pembentukan undnag-undang kepada “ the socio-legal concept of real legal certainty” yang terdiri dari 5 (lima) elemen pencapaian kepastian hukum yang nyata, yaitu:
a.      a lawmaker has laid down clear, accessible and realistic rules;
b.      the administration follows these rules and induces citizens to do the same
c.       the majority of people accept these rules, in principle, as just;
d.      serious conflict are regularly brought before independent and impartial judges who decide cases in accordance with those rules;
e.       these decisions are actually complied with defining objectives of law and development projects in these terms could help improving their effectiveness.

Menurut Saldi Isra, proses pembentukan undang-undang ( law making process) yang merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari: (1) prakarsa pengajuan rancangan undang-undang; (2) pembahasan rancangan undang-undang; (3) persetujuan rancangan undang-undang; (4) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (5) pengundangan dalam Lembaran Negara.[24] Rangklaian kegiatan tersebut didasarkan kepada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 10/2004 yang menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

2.      Landasan Pembentukan Undang-Undang

Menurut Bagir Manan, agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas dapat digunakan 3 (tiga) landasan dalam menyusun undang-undang, yaitu: Pertama, landasan yuridis ( juridische gelding); kedua, landasan sosiologis ( sociologische gelding); dan ketiga, landasan filosofis.[25]

Berbeda dengan pendapat yang diungkapkan Bagir Manan, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa landasa pembentukan undang-undang dilihat dari sisi teknis pembentukan undang-undang tercermin dalam konsideran. Dalam konsideran haruslah memuat norma hokum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi undang-undang tersebut, yaitu terdiri dari:[26]
“ Pertama, landasan filosofis. undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan. Kedua, landasan sosiologis. Bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntunan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan politis. Bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan. Keempat, landasan yuridis. Dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat.” Kelima, landasan administratif. Dasar ini bersifat “fakultatif” ( sesuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini. Dalam teknis pembentukan undang-undang, biasanya landasan dimasukkan dalam konsideran “memerhatikan.” Landasan ini bersifat pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.”

Berdasarkan paparan diatas, jka kelima landasan tersebut terpenuhi dalam setiap proses pembentukan undang-undnag maka menurut Yuliandri undang-undang yang dihasilkan menjadi undang-undang yang baik, berkualitas dan berkelanjutan.[27]

Pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah memperhatikan aspek atau kaidah-kaidah pembentukannya, yaitu:
a.       Landasan Filosofis
yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan kedalam suatu rencana atau draff peraturan perundang-undangan.[28]
b.      Landasan Sosiologis
Suatu peraturan perundang-undangan agar ditaati masyarakat, harus dibuat dan dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan atau kata lain hokum yang dibuat oleh Negara harus sesuai dengan kebiasaan, kebutuhan masyarakat.[29]

c.       Landasan Politis
Merupakan garis kebijakan politik yang menjadi dasar lanjutannya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintah Negara.[30]
d.      Landasan Yuridis
Landasan yuridis di dalam dasar pertimbangan berkaitan dengan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi apabila ia berkaitan langsung dengan substansi peraturan atau menjadi dasar peraturan perundang-undangan terebut yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat”.[31]

3.      Asas-Asas Pembentukan Undang-Undang

Pembahasan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan, berhubungan dengan pembentukan norma dalam peraturan perundang-undangan. Ia adalah pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.[32]

Menurut Van Der Vlies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang0undangan yang baik ( algemene beginselen van behoorlijke regelgeving), dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu asas formal ( formele beginselen) dan asas materiil ( materiele beginselen). [33] Asas Formil meliputi:
b.      het beginselen van duidelijke doelstelling ( asas tujuan yang jelas);
c.       het beginselen van het juiste orgaan ( asas organ/ lembaga yang tepat);
d.      het noodzakelijkeheids beginsel ( asas perlunya pengaturan);
e.       het beginsel van uitvoerbaarheid ( asas dapat dilaksanakan);
f.        het beginsel van consensus ( asas consensus).

Asas-asas materiil meliputi:
a.       het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek ( asas terminologi dan sistematika yang jelas);
b.      het beginsel van de kanbaardheid ( asas dapat dikenali);
c.       het rechtsgelijkeheidsbeginsel ( asas perlakuan yang sama dalam hukum);
d.       het rechtszekerheidsbeginsel ( asas kepastian hukum);
e.       Het beginsel van de individuele rechtbedeling ( asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual).


Kemudian menurut A. Hamid Attamimi, dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dapat disusun sebagai berikut:
  1. Cita hukum Indonesia;
  2. Asas Negara berdasar hokum;
  3. Asas pemerintahan berdasar system konstitusi; dan
  4. Asas-asas lainnya.

Attamimi juga menjelaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, setidaknya ada beberapa pegangan yang dapat dikembangkan guna memahami asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan secara baik dan benar, yaitu:[34]
Pertama, asas yang terkandung dalam pancasila selaku asas-asas hukum umum bagi peraturan perundang-undangan. Kedua, asas-asas negara berdasar atas hukum selaku asas-asas hukum umum bagi perundang-undangan. Ketiga, asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi selaku asas-asas umum bagi perundang-undangan, dan Keempat, asas-asas bagi perundang-undangan yang dikembangkan oleh para ahli.



Menurut Jimly Asshiddiqie selain asas-asas yang terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan dapat pula berisi asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya, peraturan perudang-undangan yang berlaku di dunia industri dan perdangan yang antara lain misalnya mengidealkan nilai-nilai “efisiensi”.[35]

4.      Lembaga Pembentukan Undang-Undang

Disemua negara, setiap rancangan undang-undang pada prinsipnya selalu dibahas bersama oleh parlemen dan pemerintah, karena pemerintahlah yang nantinya akan melaksanakan undang-undang tersebut, maka pemerintah harus terlibat secara langsung  dalam proses pembahasan bersama dengan parlemen untuk mendapatkan persetujuan bersama. Setelah mendapatkan persetujuan bersama, setiap rancangan undang-undang akan disahkan sebagaimana mestinya oleh presiden.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20  terdiri dari 5 (lima) ayat, yang disebut sebagai lembaga pembentuk undang-undang adalah DPR bersama presiden. DPR sebagai legislator sedangkan presiden sebagai co-legislator.

C.    Hubungan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang

Setiap pembicaraan mengenai organisasi negara ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya.[36]

Fungsi utama parlemen pada hakekatnya adalah fungsi pengawasan dan Legislasi, parlemen berfungsi mengomunikasikan tuntutan dan keluhan dari berbagai kalangan masyarakat kepada pihak pemerintah (Parlemen Parle an Government). Parlemen berkembang sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial (social control) terhadap kekuasaan. Tetapi dalam sistem modern sekarang ini, parlemen berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui perdebatan terbuka (Public Debate) yang melibatkan keahlian legislator (parlemen parle an peuple).[37]

Berdasarkan teori distribution of power kekuasaan negara dibagi ke dalam 3 ( tiga) kekuasaan negara, namun antara kekuasaan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berpijak dari teori ersebut, maka hubungan antara presiden dan DPR merupakan suatu keniscayaan.

 Menjalankan fungsi pembentukan undang-undang, DPR mempunyai hak dan kewajiban dalam mengajukan rancangan undang-undang, hak amndemen atau hak merubah setiap rancangan undang-undang yang diajukan presiden.[38]

Proses pembuatan undang-undang tersebut, pemerintah yang nantinya akan menjadi pelaksana undang-undang haruslah terlibat aktif dalam pembahasan. Artinya, dalam pembentukan suatu undang-undang peran pemrintah dan DPR sama-sama penting. Prsiden dalam proses pembentukan undang-undang hanya berfungsi sebagai co-legislator sedangkan DPR berperan sebagai legislator.

Peran presiden sebagai co-legislator tersebut, pada pokoknya pemerintah tidak dapat menentukan sesuatu norma hokum yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat untuk umum, kecuali pembentukan norma hukum yang demikian itu diperintahkan oleh legislator melalui undang-undang.

Di Indonesia, dengan ditempatkannya presiden sebagai salah satu pihak dalam proses pembahasan dan persetujuan bersama sebuah rancangan undang-undang, pembentukan undang-undang dapat menjadi lebih rumit. Hubungan presiden dan DPR tidak hanya memerlukan agenda dukungan untuk agenda non-legislasi, tetapi juga untuk agenda legislasi


[1] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 261.

[2] Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.140.
[3] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 148.
[4] Ibid, hal. 266.
[5] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 264.
[6] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 264.
[7] Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 53.
[8] Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, grasi pada dasarnya merupakan bentuk pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
[9] amnesti adalah kewenangan kepala Negara untuk meniadakan akibat hokum sebelum dilakukan penuntutan.
[10] Abolisi adalah kewenangan kepala Negara untuk menggugurkan hak penuntut umum guna melakukan penuntutan serta akibat hokum yang timbul karena tuntutan itu. Abolisi juga diberikan oleh presiden dengan memerhatikan pertimbangan DPR.
[11] Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lainnya. Sedangkan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 1 butir 23 menyatakan bahwa rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
[12] Kewenangan-kewenangan itu semula memang berada ditangan kepala pemerintahan Negara. Namun dalam perkembangan sejarah, setelah diadakan pembatasan-pembatasan kekuasaan melalui gerakan konstitualisme di zaman modern, antara lain dengen dikembnagkannya prinsip pemisahan kekuasaan negar. Lebih jelas baca Jimly Asshddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT. Bhuan Ilmu Populer, Jakarta, hal. 338-339.
[13] Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 147.
[14] Pasal 4 ayat (1): Presiden Repubklk Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang dasar.
[15] Pasal 5 ayat (2):  Presiden menetapkan peraturan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
[16] Kewenangan tersebut adalah: 1. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,  Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10); 2. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian internasional dengan Negara lain (Pasal 11 ayat (1)); 3. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengen persetujuan DPR (Pasal 11 ayat (2)); 4. Presiden menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); 5. Presiden mengankat duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1)); 6. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 ayat (1)); 7. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan DPR; 7. Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15); 8. Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden (Pasal 16). Lebih jelas baca Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konpress, Jakarta, hal. 70-71.
[17] Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT. Bhuan Ilmu Populer, Jakarta, hal. 339.
[18] Article I section 7 angka 2 Konstitussi Amerika
[19] Saldi Isra, Ibid, hal. 88.
[20] Saldi Isra, Ibid, hal. 89.
[21] Armen Yasir, 2007, Hukum Perundang-Undangan, Universitas Lampung, Bandar Lampung, hlm. 15.
[22] Bagir Manan, 1999, Pertumbuhan dan Perkembangan  Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 26.
[23] Jan Michiel Otto, dkk dikutip dalam Yuliandri, 2010, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 26.
[24] Saldi Isra, Ibid, hal. 11.
[25] Yuliandri, 2010, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 29.
[26] Jimly Asshiddiqie, Perihal…, Ibid, hal 170-174 dan hal. 240.
[27] Yuliandri, Ibid, hal. 30.
[28] Armen Yasir, 2007, Hukum Perundang-Undangan, Universitaa Lampung, Bandar Lampung, hal. 57.
[29] Ibid, hal. 57.
[30] Ibid, hal. 58.
[31] Armen Yasir, Ibid, hal. 58.
[32] Armen Yasir, Ibid, hal. 60.
[33] Yuiliandri, Ibid, hal. 113.
[34] A. Hamid S. Attamimi dalam buku Yuliandri, Ibid, hal. 115.
[35] Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 270.
[36] Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konpress, Jakarta, hal. 45.
[37]  Jimly Asshiddiqie, 2004, Pengumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, hlm 104. 
[38] Yulimasni, Pergeseran Kekuasaan Presiden Dalam Pembentukan Undang-Undang Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, http://www.google.co.id/artikel/ kewenangan+presiden&dpr. diakses pada tanggal 25-10-10.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar