BAB IV
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945.
Melakukan sebuah perubahan terhadap konstitusi haruslah mempunyai landasan yang kuat dan logis untuk melakukannya. Gerakan reformasi yang tumbuh pesat serta memperoleh momentum melalui krisis ekonomi terparah sepanjang orde baru, pada akhirnya memaksa soeharto lengser dari kekuasaannya.[1] Setelah reformasi yang terjadi tahun 1998, mencuatnya wacana untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. ada beberapa Alasan-alasan untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:[2]
1. menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan pancasila;
2. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi;
3. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945;
4. menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling imbang (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman;
5. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mecerdasarkan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara sejahtera;
6. melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum; dan
7. menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungan untuk kurun waktu yang akan datang.
Berdasarkan alasan yang telah diuraikan diatas, salah satunya adalah menentukan bahwa perlu adanya pembagian kekuasaan yang tegas ( checks and balances). Adanya ketimpangan politik ketatanegaraan di Indonesia disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak mendistribusikan kekuasaan secara seimbang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Undang-Undang Dasar 1945 terlampau executive heavy memberikan kekuasaan yang sangat besar pada presiden sehingga kekuasaan DPR lemah. Sementara menurut Valina Singka Subekti berpendapat bahwa:[3]
“Distribusi kekuasaan yang seimbang akan memberikan implikasi terhadap bekerjanya sistem politik yang demokratis. Apabila kekuasaan eksekutif terlampau dominan sementara kekuasaan legislatif lemah, yang terjadi adalah kekuasaan eksekutif yang eksesif yang bekerja tanpa kontrol. Akibatnya, eksekutif sewenang-wenang dan cendereung korup dan berpotensi memunculkan kekuasaan yang otoriter. Hal ini sesuai dengan adagium dari Lor Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”
Selain itu, melihat kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan sesuatu yang wajar bila banyak elemen masyarakat yang menghendaki perlunya dilakukan perubahan terhadap konstitusi. Bahkan ada yang menganggap tidak cukup hanya perubahan, tetapi dibutuhkan konstitusi baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seperti yang dikemukakan Sobirin Malian dalam tesisnya sebagai berikut :[4]
”Atas dasar itu semua, maka jelas wacana atau gagasan pentingnya konstitusi baru sebagai salah satu solusinya, patut diprogramkan secara serius. Disadari bahwa untuk mewujudkan itu memerlukan waktu minimal jangka menengah, namun kesungguhan kearah itu haruslah dipikirkan dan dipersiapkan sejak sekarang.”
Berpijak dari uraian di atas, maka perlu dikaji terhadap hasil kerja dari perubahan UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Terutama sekali menyangkut perimbangan kekuasaan antara lembaga negara. Hal tersebut sangat penting, berhubung banyak materi Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan perubahan oleh MPR.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi yang sangat luas kepada semua lembaga negara. Pada salah satu sisi ada lemaga negara yang mendapat tambahan darah baru yaitu dengan bertambahnya kewenangan secara signifikan di dalam konstitusi. Sementara di sisi lain ada pula lembaga negara yang mengalami pengurangan kewenangan dibandingkan sebelum perubahan.
Pengalaman masa orde baru atau pun masa pemerintahan transisi Habibie, menjadi alasan mengapa kemudian diperlukan adanya ketegasan mengenai sejauhmana peran presiden dalam masalah pengesahan undang-undang. Beberapa kasus memperlihatkan terdapat undang-undang yang sudah selesai dibahas dan disetujui bersama DPR dan presiden pada akhirnya tidak diundangkan, padahal sebenarnya undang-undang tersebut penting segera diberlakukan karena menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Mahfud MD mengemukakan bahwa paling tidak ada 4 (empat) kelemahan elementer UUD 1945, yaitu (1) tidak ada mekanisme check and balances, (2) terlalu banyak atribusi kewenangan kepada lembaga legislatif untuk membentuk undang-undang, (3) adanya pasal-pasal multitafsir, dan (4) terlalu percaya kepada semangat penyelenggara negara. Mahfud MD menambahkan lagi, dalam praktik, kelemahan itu menjadi pintu masuk otoriterisme.[5] Saldi Isra menegaskan kembali beberapa permasalahan-permasalahan yang mengaharuskan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu adanya executive heavy dan minus checks and balances.
Menghindari masalah yang sama agar tidak terulang kembali, fraksi-fraksi di PAH I sepakat perlunya memberikan limitasi waktu kepada presiden dalam memberikan pengesahannya pada undang-undang, bertujuan agar produk legislasi dapat dijaga kualitasnya dan pada saat yang sama juga tidak merugikan kepentingan masyarakat luas.
Hasilnya adalah munculnya ayat baru yaitu Pasal 20 ayat (5) yang berbunyi: “ Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan presiden dalam waktu sejak tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Pasal 20 ayat (5) hasil perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 kembali memperkuat posisi DPR dalam pembentukan undang-undang. Hal tersebut disebabkan, walaupun tanpa pengesahan dari presiden, rancangan undang-undang yang sudah dibahas dan disetujui bersama DPR dan presiden harus diundangkan.
Adanya Pasal 4 ayat (1) juga menjadi alasan untuk melakukan perubahan terhadap pasal-pasal yang terkait pembentukan undang-undang. Peruban tersebut menjadi isu sentral dalam pembahasan perubahan konstitusi.
Berdasarkan data, dari semua fraksi yang mengusulkan perubahan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, terdapat 4 (empat) varian perubahan yang ditawarkan. Pertama, frasa “memegang kekuasaan” diubah dengan frasa “berhak mengajukan”. Perubahan ini diusulkan Fraksi PDI-P dan Fraksi Reformasi. Kedua, mengubah bunyi Pasal 5 ayat (1) menjadi: Presiden bersama-sama dengan DPR berwenang membentuk undang-undang. Variasi perubahan ini paling banyak disulkan fraksi, yaitu KKI, PDU, UG, dan TNI/Polri. Ketiga, mengubah bunyi Pasal 5 ayat (1) menjadi: Presiden sebagai Kepala Negara berwenang mengajukan rancangan undang-undang untuk diminta persetujuan DPR. Model perubahan ini disulkan oleh fraksi PPP. Keempat, hampir sama dengan varian ketiga, fraksi PBB mengusulkan: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Sedangkan dua fraksi lain ( PKB dan PDKB), tidak mengusulkan formula perubahan sebagaimana fraksi-fraksi lain.
B. Implikasi Perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 Terhadap Kewenangan Presiden Dalam Pembentukan Undang-Undang
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan eksekutif yang terlampau besar harus dikurangi dengan cara mengembalikan kekuasaan membuat undang-undang kepada DPR. Perubahan ini dimaksudkan untuk menegaskan adanya pembagian tugas yang jelas antara eksekutif dan legislatif ( separation of powers) bahwa kekuasaan membuat undang-undang dalam negara demokrasi berada di lembaga legislatif. Pasal ini sekaligus juga memberikan kewenangan yang kuat kepada DPR dalam pembuatan undang-undang.[6]
Perubahan selanjutnya adalah mengenai proses dan mekanisme pembentukan undang-undang antara DPR dan Presiden yang diatur dalam Pasal 20 yat (2), (3), (4), dan (5). Pasal 20 ayat (2) hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “ setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama,”kemudian Pasal 20 ayat (3) mengatakan: “Jika rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.”Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.”
Ketentuan dalam perubahan tersebut memperlihatkan adanya kerjasama timbal balik antara DPR dan Presiden dalam proses pembentukan undnag-undang. Hal tersebut sesuai dengan konsep division of powers, dimana diperlukan kerja sama antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sebagai lembaga yang melaksanakan undang-undang, agar undang-undang yang akan dilahirkan tersebut mempunyai reliabilitas untuk dilaksanakan. Disamping itu, adanya kerjasama tersebut memungkinkan DPR untuk mengontrol secara ketat pelaksanaan undang-undang oleh eksekutif.
Adanya pendapat yang mengenai melemahnya kekuasaan eksekutif setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak sepenuhnya benar. Menurut Valina Singka Subekti, perubahan Pasal 20 ayat (2) lama kepada Pasal 20 ayat (3) baru, justru melemahkan kembali kekuasaan legislasi DPR yang sudah diperkuat dalam Pasal 20 ayat (1) hasil perubahan UUD 1945. Pasal 20 ayat (2) sebelum perubahan mengatakan: “Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR, rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidanngan masa itu.”[7]
Pada praktik politiknya, setelah perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan, ada beberapa perundangan yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden tidak disahkan oleh presiden.
1. Fungsi Pembentukan Undang-Undang Sesuai Dengan Kewenangan Presiden
a. Fungsi Pembentukan Undang-Undang Sesuai Dengan Kewenangan Presiden Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Presiden Republik Indonesia adalah Kepala Negara, Mandataris MPR, dan Penyelenggara Tertinggi Pemerintah Negara Republik Indonesia didalam menyelenggarakan pemerintahan negara ini, kekuasaan Presiden Republik Indonesia meliputi sebutkan yaitu, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, dengan catatan bahwa yang terakhir ini dilakukan dengan persetujuan DPR. Dengan demikian, selain sebagai penyelenggara tertinggi Pemerintah Negara maka Presiden Republik Indonesia adalah penyelenggara tertinggi perundang-undangan negara[8] dengan persetujuan DPR.[9] Pola pembahasan rancangan yang berasal dari pemerintah maupun yang berasal dari DPR dilakukan pembahasan bersama setelah ada pembahasan awal di DPR. Pembahasan dilakukan pada saat DPR mengsulkan perubahan terhadap pasal-pasal rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintah. Begitu juga sebaliknya, pemerintah akan mengusulkan perubahan bagian-bagian tertentu[10] rancangan undang-undang yang berasal dari DPR.
Pembahasan rancangan undang-undang tersebut dilakukan dalam 5 (lima) tingkatan pembiacaraan, yaitu Tingkat I dilakukan dalam Rapat Golongan guna melakukan persiapan pembahasan, Tingkat II dilakukan dalam Rapat Pleno terbuka dengan tujuan memberikan kesempatan kepada pemerintah ( pengusul untuk usul inisatif) menjelaskan dan dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban pemerintah. Tingkat III, seluruh pembahasan yang terjadi di Tingkat I dan II akan disimpulkan untuk dijadikan pembahasan Tingkat IV.
Pembahasan Tingkat IV pembahasan yang dilakukan oleh gabungan antara Komisi atau Gabungan Komisi dengan pemerintah. Proses pada tahapan IV dilakukan perubahan-perubahan terhadap rancangan undang-undang yang diusulkan, bahkan Komisi lain dapat engajukan usul perubahan secara tertulis dengan syarat usul tersebut ditandatangani sekurang-kurangnya 5 (lima) anggota komisi. Proses rancangan undang-undang akan masuk dalam Tingkat V apabila telah tercaai kesepakatan antara pemerintah dan presiden.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa kekuasaan eksekutif dan juga kekuasaan legislatif terpusat hanya disatu tangan yaitu presiden. Menurut Bagir Manan, ketentuan itu bukan saja membingungkan, tetapi mengandung anomali, karena di dalam sistem pemerintahan mana pun kekuasaan membentuk undang-undang ada pada lembaga perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif.[11]Selain itu, Bagir Manan juga menambahkan bahwa:[12]
“ Pertama, kekuasaan presiden menjadi begitu kuat, termasuk menentukan isu undang-undang. Tidak jarang perbedaan pendapat antara fraksi di DPR atau antara DPR dan pemerintah mengenai naskah suatu rancangan undang-undang, diselesaikan menurut kehendak presiden, atau setelah menghadap presiden. Kedua, ketentuan itu sangat mengendurkan kemauan DPR untuk menggunakan hak inisiatif mengajukan rancangan undang-undang. Ketiga, seolah-olah setiap rancangan undang-undang harus disetujui dan DPR harus menyetujui sesuai dengan kehendak pemerintah, khususnya presiden.”
Menanggapi yang disampaikan oleh Bagir Manan terkait kekuasaan presiden yang anomali, Saldi Isra juga mengatakan bahwa:[13]
“ Dengan demikian, ketika Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dimaknai bahwa kekuasaan presiden lebih dominan dari DPR, ketentuan itu dapat dimaknai sebagai penyimpangan dari karakter fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan presidensial. Bahkan, makna “bersama-sama” atau kolaborasi presiden dan DPR dalam proses pembentukan undang-undang sudah merupakan penyimpangan karakter fungsi legislasi dalam sistem presidensial yang menganut pemisahan pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif.”
Selain itu juga, penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresiden, sangat sulit terciptanya balance of power apalagi checks and balances diantara cabang kekuasaan pemerintah.
b. Fungsi Pembentukan Undang-Undang Sesuai Dengan Kewenangan Presiden Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Setelah perubahan, Undang-Undang Dasar 1945 mwengembalikan kewenangan pembentukan undang-undang ketangan DPR. Salah satu pertimbangannya, mencantunkan frasa “presiden berhak” potensial mengurangi eksklusifitas lembaga legislatif sebagai pemegang kekuasaan legislasi. Secara hukum, dengan diberikannya “hak” kepada presiden maka secara tidak langsung akan memberikan kewajiban kepada DPR untuk pembentukan undang-undang.
Perubahan Undang-Undang tersebut meskipun berimplikasi terhadap menguatnya peran DPR dalam pembentukan undang-undang, namun presiden juga masih terlibat dalam pembneukan undang-undang baik dalam prakarsa pengajuan, pembahasan, persetujuan bersama dan pengesahan undang-undang.
Sesuai penjelasan Saldi Isra, dalam pembahasan bersama rancangan undang-undang antara presiden dan DPR merupakan kelaziman dalam semua negara. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yang menyatakan:[14]
“Di semua negara, pembahasan rancangan undang-undang di dalam forum parlemen memang selalu melibatkan pemerintah. Karena, pemerintahlah yang akan melaksanakan undang-undang itu kelak, sehingga adalah wajar jika dalam pembahasan di parlemen pemerintah selalu terlibat dalam pembahasan bersama.”
2. Mekanisme Pembentukan Undang-Undang
Proses pembentukan undang-undang, pada prinsipnya merupakan proses pembuatan yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (sosialisasi).[15]Dalam hubungannya dengan pembentukan undang-undang di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum positif, proses pembentukan undang-undang merupakan kewenangan yang diberikan kosntitusi ( Undang-Undang Dasar) kepada lembaga/organ pembentuk undang-undang (legislature).
a. Prakarsa Pengajuan Rancangan Undang-Undang
Pada dasarnya, ide pembentukan suatu undang-undang dapat diprakarsai oleh siapa saja. Organisasi politik, organisasi kemsyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, ataupun kelompok-kelompok masyarakat dan warga negara dapat dengan bebas menjadi pengusung ide untuk pembentukan suatu undang-undang yang mengatur mengenai hal-hal tertentu.[16]
Sama halnya dengan pendapat yang disampaikan Kerwin yang menyatakan bahwa:[17]
“ Rules can be initiated in a variety of ways. Statutory mandates, judicial orders, petitions from the public, and agency determinations of need can all cause a rule-making to begin. A requirement that those about to begin writing rules must secure permission to do so from senior agency officials or simply must inform hgher authorities that a rulemaking is being initiated, serves a number of purpose.”
Penjelasan tersebut diatas, tidak menjadikan siapa saja bisa menjadi prakarsa resmi untuk mengajukan rancangan undang-undang. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa:[18]
“Namun, prakarsa resmi hanya dapat dilakukan melalui prosedur tertentu yang telah ditentukan secara konstitusional dalam UUD 1945, yang teknisnya diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hubungan ini, yang dapat mengambil inisiatif atau prakarsa resmi itu adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri sebagai lembaga pembentuk undang-undang, (ii) Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif, dan/atau (iii) Dewan Perwakilan Daerah.”
Penjelasan diatas juga tidak menutup kemungkinan untuk lembaga lain atau pihak lain mengajukan inisiatif pembentukan undang-undang, tetapi tetap melalui ketiga lembaga negara yang memiliki atau diberikan kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang, yaitu Presiden, DPR, dan DPD.
Proses penyampaian rancangan undang-undang yang berasal dari presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan surat pengantar presiden, yang diikuti dengan penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis. Surat pengantar presiden, menyebut juga menteri yang mewakili presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Dalam Rapat paripurna berikutnya, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota, tentang masuknya rancangan undang-undang tersebut.
Presiden dapat menarik kembali rancangan undang-undang yang diajukan, sebelum pembicaraan Tingkat I dimulai. Penarikan kembali rancangan undang-undang tersebut melalui surat pengantar presiden yang diajukan kepada Pimpinan DPR. Rancangan undang-undang yang dibicarakan pada Tingkat I, hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. DPR mulai membahas rancangan undang-undang dari presiden dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat pengantar presiden diberitahukan dalam Rapat Paripurna.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui proses pengajuan rancangan undang-undang yang berasal dari presiden, akan tetapi ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang” dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “anggota DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang”, Menurut Saldi Isra proses legislasi tersebut mengharuskan juga suatu pengaturan hak yang dimiliki oleh anggota DPR dalam prakarsa pengajuan rancangan undang-undang terutama ketika DPR dan presiden mengajukan rancangan undang-undang mengenai hal atau masalah yang sama.[19]
Hak anggota DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPD. Pasal 28 huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPD dinyatakan “anggota DPR mempunyai hak mengajukan rancangan undang-undang”.[20]
Khusus untuk rancangan undang-undang yang berasal dari anggota DPR, berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 15/DPR RI/I/2004-2005, yang kemudian diubah dengan Keputusan DPR RI/II/2004-2005 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, dan kemudian diubah kembali dengan Keputusan DPR RI nomor 8/DPR RI/I/2005-2006, memberikan penjelasan tentang penggunaan hak inisiatif DPR, dengan ketentuan sebagai berikut:[21]
“sekurang-kurangnya 13 (tiga belas) orang anggota dapat mengajukan usul inisiatif Rancangan Undang-Undang. Usul Rancangan Undang-Undang, dapat juga diajukan oleh Komisi, Gabungan Komisi, atau Badan Lagisalasi. Usul inisiatif Rancangan Undang-Undang disertai keterangan dan/atau naskah akademis disampaikan secara tertulis oleh anggota atau Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, atau Pimpinan Badan Legislasi kepada Pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya. Dalam Rapat Paripurna berikutnya setelah usul inisiatif Rancangan Undang-Undang tersebut diterima oleh Pimpinan DPR, memberitahukan kepada anggota masuknya usul inisiatif Rancangan Undang-Undang tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat Paripurna memutuskan apakah usul Rancangan Undang-Undang tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi Rncangan Undang-Undang usul dari DPR atau tidak. Keputusan dapat diambil setelah diberikan kesempatan kepada fraksi untuk memberikan pendapatnya.”
Syarat 13 (tiga belas) orang dalam pengajuan hak inisiatif rancangan undang-undang tersebut tidak sejalan dengan Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “anngota DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Frasa tersebut menjelaskan bahwa, siapa saja yang menjadi anggota DPR mempunyai hak mengajukan inisiati rancangan undang-undang tanpa dibatasi jumlah anggota yang mengajukan hak inisiatifnya.
Berbeda halnya dengan proses pengambilan keputusan terhadap pengajuan usul penggunaan hak inisiatif, dilakukan dalam Rapat Paripurna dengan proses sebagai berikut:[22]
“ Keputusan rapat Paripurna dapat berupa: a. Persetujuan tanpa perubahan; b. Persetujuan dengan perubahan; atau c. Penolakan. Dalam hal persetujuan dengan perubahan, DPR menugaskan kepada Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus untuk menyempurnakan Rancangan Undang-Undang tersebut. Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui tanpa perubahan, atau yang telah disempurnakan, disampaikan kepada presiden oleh Pimpinan DPR dengan permintaan agar presiden menunjuk menteri yang akan mewakili presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut bersama-sama dengan DPR,...”
Terhadap rancangan undang-undang usul inisiatf DPR telah disetujui, maka:[23]
“Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian Rancangan Undang-Undang dari DPR, presiden menunjuk menteri yang ditugasi mewakili presiden dalam pembahasan Rncangan Undang bersama DPR. Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul Rancangan Undang-Undang belum dibicarakan dalam Badan Musyawarah. Pengusul, berhak menarik usulnya kembali, selama usul Rancangan Undang-Undang tersebut belum diputuskan menjadi Rancangan Undang-Undang oleh Rapat Paripurna. Pemberitahuan tentang perubahan dan penarikan kembali usul, harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada Pimpinan DPR, kemudian dibagikan kepada seluruh anggota.”
Prakarsa pengajuan rancangan undang-undang baru dapat dikatakan resmi ketika salah satu dari kedua lembaga yaitu presiden dan DPR telah menyetujui sesuatu ide pembentukan yang diajukan, yang nantinya akan dibahas bersama antara presiden dan DPR di DPR.
b. Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Munculnya pembahasan bersama-sama dalam proses legislasi dibawah UUD 1945 sebelum perubahan dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara” dan pengaruh proses legislasi dalam sistem pemerintahan parlementer.[24]
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun kata “membahas” berubah kata menjadi “dibahas” maka Bagir Manan mengemukakan bahwa ketentuan itu mengandung makna: Pertama, setiap rancangan undang-undang dibahas (bersama) oleh DPR dan presiden; Kedua, setiap rancangan undang-undang disetujui bersama oleh DPR dan presiden.[25]Menurut Saldi Isra pandangan Bagir Manan tersebut merupakan konsekuensi logis dari frasa “persetujuan bersama”.[26]
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa kata “persetujuan” itu diartikan dengan “pernyataan setuju” sedangkan kata “setuju” berarti “sepakat”, selain itu kata “menyetujui” dapat juga berarti “membenarkan” atau “mengiyakan”. Berdasarkan uraian diatas, maka Maria Farida berpendapat bahwa, ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Perubahan tersebut memberikan makna, agar di dalam membentuk undang-undang Dewan perwakilan Rakyat harus melaksanakannya dengan persetujuan, atau dengan berbarengan, serentak, bersama-sama, dengan presiden.[27] Maria Farida juga memberikan kesimpulan dari penjelasannya bahwa kewenangan presiden dalam pembentukan undang-undang tidak jauh berbeda dengan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Berbeda dengan yang disampaikan Maria farida, Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak secara eksplisit menyatakan sebuah rancangan undang-undang harus dibahas secara bersama atau secara bersama-sama. Mencermati hal tersebut, urgensi dari Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tersebut adalah hasilnya, yaitu sebuah rancangan undang-undang yang harus mendapat “persetujuan bersama”.
Jimly Asshiddiqie juga menambahkan pendapatnya bahwa rancangan undang-undang yang bersangkutan dapat saja dibahas sendiri-sendiri oleh DPR dan presiden secara terpisah, asalkan keduanya sama-sama dapat memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tersebut. Konsekuensi penafsiran demikian tentu dapat memengaruhi prosedur pembahasan rancangan undang-undang yang diatur dalam proses tatatertib DPR.[28]
Terkait dengan pandangan tersebut, Jimly Asshiddiqie juga menyatakan jika rancangan undang-undang diajukan atas inisiatif pemerintah, maka:[29]
“ Pembahasan oleh DPR dapat dilakukan dengan menghadirkan wakil pemerintah sebagai utusan presiden untuk didengar keterangan atau penjelasannya berkenaan dengan materi usulan rancangan undang-undang yang bersangkutan. Akan tetapi, kedudukan wakil dalam forum tersebut tentunya bukan subjek yang mengambil keputusan. Jika dilakukan pemungutan suara, wakil pemerintah hanya menjadi narasumber yang tidak ikut memberikan suara. Jika wakil pemerintah mempunyai kepentingan maka kepentingan tau aspirasinya itu haruslah disalurkan melalui anggota DPR yang berasal dari partai pemerintah.
Berbeda halnya, apabila rancangan undang-undang tersebut berasal dari DPR, maka pembahasannya dilakukan sepenuhnya oleh DPR.
Menurut Saldi Isra, pendapat Jmly Asshiddiqie yang mementingkan hasil dari “persetujuan bersama” tidak dapat diterima karena 3 (tiga) alasan, yaitu:[30]
“ Pertama, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tersebut dibentuk dalam kalimat pasif, yaitu ditandai dengan kata “dibahas”. Secara semantik, bentuk aktif dari kata “dibahas” adalah “membahas”. Dalam KBBI, “membahas” berarti (1) “menyelidiki”, “mengupas”, “membicarakan”, dan “memperdebatkan”; dan (2) “mengritik”, dan “membantahi”. Sesuai dengan arti tersebut, Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 dapat juga dimaknai menjadi “setiap rancangan undang-undang dibicarakan atau diperdebatkan oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Karena “dibicarakan” atau “diperdebatkan”, pembahasan rancangan undang-undang tidak tepat dilakukan oleh DPR saja atau oleh presiden saja.
Kedua, frasa “persetujuan bersama” merupakan hasil dari rangkaian proses pembahasan. Secara semantic, “persetujuan” berarti kata sepakat (antara kedua belah pihak). Karena hasil proses pembahasan adalah untuk mencapai persetujuan bersama, tidak mungkin pembahasan dilakukan terpisah, seperti pendapat Jimly Asshiddiqie, pembahasan bersama tetap harus dilakukan untuk mencapai persetujuan bersama. Dengan demikian, pembahasan yang dimaksudkan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 seharusnya dimaknai sebagai “pembahasan bersama”.
Ketiga, dari gagasan yang berkembang dalam Perubahan Pertama UUD 1945, pembahasan rancangan undang-undang dilakukan bersama-sama oleh presiden dan DPR. Sebagaimana dikemukakan oleh para perubah UUD 1845, pencantuman pembahasan bersama secara eksplisit merupakan peneguh atas praktik legislasi yang terjadi sebelum perubahan UUD 1945. hal tersebut diakui Hamdan Zoelve dan Hakim Saifuddin bahwa pembahasan bersama antara presiden dan DPR meneguhkan praktik fungsi legislasi yang terjadi di bawah UUd 1945 sebelum perubahan.”
Pengaturan lebih rinci dalam proses pembentukan undang-undang melalui proses pembicaraan dalam pembahasan rancangan undang-undang di DPR yang berdasarkan peraturan tata tertib DPR. Prmbahasan rancangan undang-undang dilakukan dalam 2 (dua) tingkat pembicaraan. Pembicaraan Tingkat I dalam Rapat Komisi , Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus. Kemudian, pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna. Akan tetapi, sebelum dilakukan pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II, terlebih dahulu diadakan Rapat Fraksi.
Pembicaraan Tingkat I dilakukan berdasarkan urutan kegiatan sebagai berikut:[31]
1) Pandangan dan pendapat fraksi-fraksi dan DPD ( Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan hal-hal tertentu sesuai dengan kewenangan DPD), apabila Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden; atau pandangan dan pendapat presiden beserta DPD (Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan hal-hal tertentu sesuai kewenangan DPD), untuk Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR;
2) Tanggapan presiden atas pandangan dan pendapat atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang terhadap pandangan dan pendapat terhadap Rancangan Undang-Undang huruf a di atas;
3) Pembahasan Rancangan Undang-Undang oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftra Inventarisasi Masalah (DIM);
4) Rancangan Undang-Undang belum dapat disampaikan dalam Pembicaraan Tingkat II, apabila secara prinsip tidak dicapai kesepakatan untuk diteruskan;
5) Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diadakan: Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Dengar Pendapat Umum; Mengundang Pimpinan Lembaga Negara atau lembaga lain apabila materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain; dan/atau diadakan rapat intern;
6) Dalam Pembicaraan Tingkat I, DPR dapat didampingi oleh Tim Asistensi/Tim Pendamping.
Selanjtnya dalam Pembicaraan Tingkat II, menjadi forum pengambilan keputusan melalui mekanisme Rapat Paripurna, yang didahului oleh:[32]
1) Laporan hasil Pembicaraan Tingkat I;
2) Pendapat akhir fraksi yang disampaikan oleh anggotany apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya; dan
3) Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Jika Rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan dalam persidangan DPR masa itu.
Ditegaskan pula:[33]
“Pertimbangan, disampaikan secara tertulis melalui Pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya surat dari Pimpinan DPR, pada Rapat Paripurna berikutnya, setelah pertimbangan diterima Pimpinan DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota perihal diterimanya pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang dan meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk meneruskan kepada alat kelengkapan yang akan membahasnya.”
Selanjutnya yang paling menarik untuk dipahami adalah perubahan mendasar proses legislasi tersebut adalah perubahan Tingkat Pembicaraan dalam pembahasan rancangan undang-undang. Selain itu juga, adanya pergantian kata “pemerintah” menjadi “presiden” dalam semua tingkat pembicaraan. Pencantuman kata “presiden” secara eksplisit diperlukan untuk mencegah agar hubungan antara presiden dan DPR dalam proses pembentukan undang-undang tidak terjadi antara DPR dengan pemerintah dalam arti luas.[34]
Permasalahan yang timbul kemudian adalah tidak adanya pengaturan hukum yang jelas, baik di UU No. 10/2004 maupun di Tatib DPR terkait pembahasan bersama rancangan undang-undang antara presiden dan DPR. Selayaknya, untuk memperjelas hubungan presiden dan DPR dalam proses pemebntukan undang-undang, pola pembahasan bersama harus diformulasikan secara tepat terutama untuk menentukan: apakah dalam pmbahasan bersama presiden berhadapan dengan DPR sebagai institusi atau berhadapan dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Apalagi, hasil pembahasan bersama akan bermuara kepada persetujuan bersama antara presiden dan DPR.[35]
c. Persetujuan Rancangan Undang-Undang
Dibandingkan “pembahasan bersama”, “persetujuan bersama” lebih eksplisit dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tidak ada aturan yang jelas mengenai “persetujuan bersama” baik di UU No. 10/2004 maupun pada tatib DPR. Proses persetujuan bersama dilakukan setelah melewati tahapan pembahasan bersama. Apabila presiden menolak seluruh atau sebagian materi rancangan undang-undang meskipun telah dilakukan pembahasan bersama dapat dilakukan presiden dalam persetujuan bersama. Persetujuan bersama merupakan kesempatan terakhir, baik presiden dan DPR untuk menyatakan menolak suatu rancangan undang-undang.
Sama halnya dengan yang dikemukaan Jimly Asshidddiqie yang menyatakan bahwa:
“ Suatu rancangan undang-undang dapat saja tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah. Misalnya, menyatakan menolak untuk memberikan persetujuan terhadap suatu materi rancangan undang-undang yang bersangkutan. Demikian pula DPR dapat menyatakan menolak sebagian atau seluruh materi rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah, meskipun hal itu telah diadakan pembahasan bersama yang bertujuan mendapatkan persetujuan bersama.”
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, Saldi Isra juga berpendapat bahwa:[36]
“ Berbeda dengan setelah perubahan, praktik pembahasan bersama dan persetujuan bersama tersebut diangkat menjadi norma di dalam UUD 1945. Wewenang DPR untuk menyetujui rancangan undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 20 UUD 1945 sebelum perubahan dibagi secara bersama-sama sehingga DPR dan presiden setara dalam persetujuan. Secara konstitusional, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 UUD 1945 sebelum perubahan posisi DPR lebih kuat dalam persetujuan rancangan undang-undang Karena wewenang untuk menyetujui rancangan undangg-undang berada ditangan DPR atau tidak dibagi dengan presiden.”
Perubahan Pasal 20 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 memperkuat posisi presiden dalam pembentukan undang-undang sekaligus melemahkan posisi DPR dalam pembentukan undang-undang. Padahal, salah satu latar belakang perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk memperkuat posisi DPR dalam pembentukan undang-undang.
d. Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Menurut Jimly Asshiddiqie pengesahan undang-undang meliputi pengesahan secara materiil dan pengesahan secara formal[37]. Pengesahan materiil dilakukan oleh DPR sedangkan pengesahan formal dilakukan oleh presiden Lebih lanjut Jimly menjelaskan bahwa yang dinamakan pengesahan formal adalah pengesahan yang dilakukan oleh presiden dengan menandatangani rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama setelah diketik ulang dalam kertas surat berkepala Presiden Republik Indonesia dan diberi nomor sebagaimana mestinya.[38]
Hal tersebut juga dipertegas dalam Pasal 37 Ayat (1) UU No. 10/2004 yang menyatakan, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Menghindari kemungkinan adanya penundaan penyampaian rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut, Pasal 37 Ayat (2) UU No. 10/2004 menentukan secara ketat bahwa dalam tenggat waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, pimpinan DPR harus menyampaikannya kepada presiden.
Pengesahan formal yang dilakukan oleh presiden bertujuan agar undang-undang tersebut memiliki daya ikat yang berlaku untuk umum. Menjadi suatu permasalahan apabila rancangan undang-undang tersebut telah disahkan secara materiil yang artinya telah melewati proses pembahasan dan persetujuan bersama antara presiden dan DPR, namun tidak mendapat pengesahan presiden secara formal.
Mencermati permasalahan tersebut, Saldi Isra berpendapat bahwa:[39]
“ Undang-undang tanpa pengesahan presiden. Sekalipun hasil perubahan UUD 1945 meneguhkan praktik “pembahasan bersama” dan “persetujuan bersama” dalam fungsi legislasi, para pengubah UUD 1945 khawatir bahwa masih mungkin rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak akan disahkan oleh presiden. Untuk mengantisipasi hal itu, muncul Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
Adanya penambahan Pasal 20 Ayat (5) dimaksudkan untuk menghindari agar presiden tidak punya pilihan lain kecuali mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Dilain sisi, Menurut Saldi Isra, adanya penambahan Pasal 20 Ayat (5) telah mereduksi kewajiban konstitusional presiden menjadi hak konstitusional dalam pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Selain itu, Saldi Isra juga menambahkan bahwa pergeseran kewajiban konstitusional menjadi hak konstitusional tersebut, presiden tidak khawatir untuk tidak megesahkan rancangan undang-undang. Hal tersebut terbukti dengan adanya 5 rancangan undang-undangb yang tidak disahkan oleh presiden menjadi undang-undang. Berdasarkan jumlah tersebut maka penilaian yang menyatakan kehadiran Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 memperkuat peran DPR dalam fungsi pembentukan undang-undang adalah tidak benar, karena Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 telah memberi kesempatan bagi presiden untuk tidak mengesahkan rancangan undang-undang dalam pembentukan undang-undang.
Berdasarkan Pasal 123 Peraturan Tata Tertib DPR dijelaskan bahwa:[40]
1) Rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang;
2) Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, rancangan undang-undang yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden untuk meminta penjelasan;
3) Dalam hal rancangan undang-undang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
e. Pengundangan Undang-Undang
Kata “pengundangan” tidak ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum perubahan maupun setelah perubahan, namun setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dapat ditemukan kata “diundangkan” yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (5) dalam bentuk frasa “ wajib diundangkan”. Pengundangan undang-undang sebenarnya telah diatur dengan jelas dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “ Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-Undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:
1). Lembaran Negara Republik Indonesia ;
2). Berita Negara Republik Indonesia ;
3). Lembaran Daerah;
4). Berita Daerah”.
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ternyata telah menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang terkait dengan pengundangan. Pertama, rancangann undang-undang kan menjadi undang-undang meski tidak disahkan presiden dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari. sesuai dengan Pasal 48 UU No. 10/2004, yang ditunjuk untuk melakukan pengundangan undang-undang adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengundangan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM dapat dilakukan dengan 4 (empat) hal, yaitu:
a. Pendaftaran atau pencatatan undang-undang itu dalam buku induk Lembaran Negara;
b. Penandatanganan oleh Menteri Hukum dan HAM;
c. Penetapan naskah asli undang-undang itu dalam Bundel Kumpulan Lembaran Negara; dan
d. Pengumuman resmi oleh Menteri Hukum dan HAM dalam forum yang bersengaja dan melalui media cetak dan elektronik yang tersedia.
Menjadi suatu permasalahan, apabila pengundangan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilihat dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan dengan tegas bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya dibentu pleh menteri-menteri. Saldi Isra berpendapat bahwa:[41]
“ Dalam posisi sebagai pembantu presiden, tugas pengundangan yang dibebankan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan posisi dilematis bagi seorang menteri yang nota-bene adalah bawahan presiden. Pada salah satu sisi, sesuai dengan Pasal 48 UU No. 10/2004, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia harus mengundangkan rancangan undang-undang yang tidak disahkan presiden. Disisi lain, sebagai atasan menteri, berarti presiden mengesahkan rancangan undang-undang tersebut. Dengan logika sederhana, ketika dalam waktu 30 hari tidak disahkan, berarti presiden tidak menghendaki rancangan undanng-undang tersebut menjadi undang-undang.”
Lebih jelas Jimly Asshiddiqie mengatakan dengan tegas bahwa, pengundangan yang suatu undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden adalah pengundangan oleh pejabat yang tidak berwenang (onbevoegheid).[42]
Berharap tidak terjadi pengundangan undang-undang oleh pejabat yang tidak berwenang (onbevoegheid), maka penolakan presiden[43] terhadap suatu rancangan undang-undang haruslah dilakukan pada proses pembahasan dan/atau persetujuan bersama.
Kedua, persoalan administratif mengenai tata persuratan dan pengadministrasian undang-undang. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa:[44]
“ Setiap rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara presiden dan DPR dalam rapat paripurna DPR, diteruskan dengan surat resmi oleh pimpinan DPR kepada Presiden. Persoalan selanjutnya adalah apakah staf kantor kepresidenan, yaitu Sekretaris Negara atau staf kantor Menteri Hukum dan HAM yang harus mempersiapkan segala dokumen sehubungan dengan tindakan pengesahan dan pengundangan undang-undang tersebut? Meneurut ketentuan sebelumnya, semua proses administrasi pengesahan dan proses administrasi pengundangan dilakukan di Sekretaris Negara. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004, ketentuan mengenai tindakan pengundangan undang-undang, merupakan tanggung jawab Menteri Hukum dan HAM. Dengan demikian, proses administrasinya mestilah diselesaikan di kantor Menteri Hukum dan HAM, bukan lagi di Sekretaris Negara.”
Permasalahan tersebut, dapat diatasi apabila ada pemisahan yang tegas antara pengesahan formal yang dilakukan oleh presiden di Sekretariat Negara dan pengundangan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari.
C. Hubungan Presiden dan DPR dan Prinsip Checks and Balances
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, system ketatanegaraan Indonesia didasarkan atas prinsip pembagian kekuasaan, bukan berdasarkan prinsip checks and balances.
Sejak perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pembedaan lembaga-lembaga negara tidak lagi didasarkan kepada pembagaian kekuasaan dan hirearkis berupa lembaga tertinggi negara dan lambaga tinggi negara. Setelah perubahan, lembaga-lembaga negara dibedakan sesuai dengan fungsi dan kewenangan konstitusional masing-masing. Mengembalikan fungsi masing-masing lembaga Negara pada porsinya, hal ini dilakukan sebagai upaya memperkuat prinsip checks and balances.
Selain itu, upaya untuk mewujudkan prinsip checks and balances antar lembaga negara juga diperkuat dengan pertimbangan hukum putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang secara eksplisit mengatakan:[45]
“…menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif. Yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksaan Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga Negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga Negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga Negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”.
Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan Negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga Negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “cheks and balances” diluar konteks pemisahan kekuasaan negar (separation of power), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dengan KY, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa KY dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka cheks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim”.
Di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif jelas terdapat pemisahan kekuasaan yang tegas antara satu dengan yang lain. DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang, sedangkan presiden sebagai pihak eksekutif hanya bertindak sebagai pelaksana undang-undang. Tidak menutup kemungkinan, presiden berwenang untuk menetapkan suatu peraturan perundang-undangan apabila kewenangan tersebut didasarkan pada pendelegasian kewenangan yang berasal dari pembentuk undang-undang (legislative delegation of the rule-making power).
[1] Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR: Dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Grafiti, Jakarta , hal. 47.
[2] Panduan Pemasyarakat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikutp dalam buku Saldi Isra, Ibid, hal. 167-168.
[3] Valina Singka Subekti, Ibid, hal. 188.
[4] Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogjakarta, 2001, hlm 96.
[5] Mahfu MD dalam buku Saldi Isra, Ibid, hal. 155.
[6] Valina Singka Subekti, Ibid, hal. 200.
[7] Valina Singka Subekti, Ibid, hal. 201.
[8] Hal tersebut dapat diketahui ketika terjadi pertentangan antara Presiden Soekarno dan DPR pada tahun 1960. ketika itu presiden membubarkan DPR hasil pemilihan Umum 1955 karena terjadi perdebatan pendapat antara DPR dan Presiden Soekarno tentang Rencana APBN tahun 1960. dalam kasus ini, pemerintah menyusun rencana anggaran sebesar 44 miliar rupiah dan apabila terjadi kekurangan-kekurangan untuk mengatasinya akan diambil kebijakan menaikkan pajak. Namun DPR menolak tersebut dengan alas an rencana anggaran dipatok sekitar 36-38 miliar rupiah, dengan angka tersebut tidak perlu menaikkan pajak yang terlalu berat. Dengan perbedaan pendapat tersebut, melalui Penpres Nomor 3 Tahun 1960 Presiden Soekarno menghentikan semua kegiatan DPR. Dengan kata lain Presiden membubarkan DPR.
[9] Maria Farida Indarti S, Ibid, hal. 136-137.
[10] Bagian-bagian tertentu tersebut dapat berupa perubahan pada pasal-pasal dan/atau ayat.
[11] Bagir Manan, 2003, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta , hal. 20.
[12] Bagir Manan, 2003, Ibid, hal. 21.
[13] Saldi Isra, Ibid, hal. 144.
[14] Jimly Asshiddiqie, Perihal…, Ibid, hal. 289.
[15] Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[16] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, hal. 198.
[17] Kerwin, dalam buku Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal…, Rajawali Pers, hal. 221.
[18] Jumly Asshiddiqie, 2006, Perihal…, Ibid, hal 198.
[19] Saldi Isra, Ibid, hal. 210.
[20] Dalam penjelasan Pasal 28 huruf aditegaskan, “hak ini dimaksudkan untuk mendorong , memacu kreativitas, semangat dan kualitas anngota DPR dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang.”
[21] Pasal 130-133 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 8/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Saldi Isra, Ibid, hal. 214.
[25] Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta , hal. 24.
[26] Saldi Isra, Ibid, hal. 215.
[27] Maria Farida Indarti, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (1): Jenis, Fungsi, Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta , hal 134.
[28] Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi…, hal. 25.
[29] Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi…, hal. 25
[30] Saldi Isra, Ibid, hal. 216-217.
[31] Ibid, Pasal 136-139.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Saldi Isra, Ibid, hal. 218.
[35] Saldi Isra, Ibid, hal. 219.
[36] Saldi Isra, Ibid, hal. 222.
[37] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta , hal. 231.
[38] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal…., hal. 231.
[39] Saldi Isra, Ibid, hal. 227.
[40] Lihat Pasal 123 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Tata Tertib DPR
[41] Saldi Isra, Ibid, hal. 231.
[42] Jimly Asshiddiqie, dalam buku Saldi Isra, Ibid, hal. 231.
[43] Sebagai contoh Undang-Undang tentang Keuangan Negara tidak ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai tanda pengesahan formil, tetapi undang-undang tersebut tetap diundangkan oleh Sekretariat Negara dengan diberi nomor dan diterbitkan dalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya. Seharusnya, undang-undang tetap ditandatangani oleh Presiden tidak bersedia mengesahkannya seharusnya pernyataan penolakan disampaikan resmi dalam rapat paripurna DPR RI yang terakhir yang mengsahkan rancangan undang-undang tersebut secara materiil. Jika tidak ada penolakan berarti rancangan undang-undang telah mendapat persetujuan bersama.
[44] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal…., Ibid, hal. 216-217.
[45] Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006.